Standar baik
buruk sebuah umat dan bangsa atau kebaikan mereka tentu dengan tolok ukur
syariat Islam yang berangkat dari nilai keimanan dan ketakwaan kepada Allah.
Menurut Al-Quran iman dan takwa adalah faktor pembuka keberkahan dari langit
dan bumi. Namun ini dalam konteks keumatan dan kebangsaan. Allah menjamin
keberkahan itu akan diperoleh jika “suatu bangsa dan umat” mau komitmen dengan
nilai-nilai keimanan dan ketakwaan.
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan
bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah-berkah dari
langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami
siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Al-A’raf: 96)
Dalam Al-Quran banyak kisah-kisah umat terdahulu yang dihancurkan oleh Allah
karena jauhnya mereka dari nilai-nilai iman dan takwa. Di lain sisi juga banyak
kisah bangsa dan umat yang mendapatkan limpahan berkah karena mereka bersyukur,
beriman dan bertakwa. Kisah umat Nabi Daud dan Sulaiman misalnya berkisah
tentang kekuasaan dan kekayaan yang dikendalikan oleh orang-orang yang shalih
bersyukur. Wal hasil, bukan saja manusia, keberkahan juga dirasakan oleh bangsa
binatang sekalipun.
Demikian juga kisah tentang “baldatun thayibah” (negeri yang tentram) di bangsa
Saba’ karena mereka bersyukur atas nikmat Allah. Pada saat mereka ingkar
dan berpaling, Allah menggantikan segala kenikmatan itu menjadi bencana dan
malapetaka.
Jika nilai keimanan, takwa, dan syukur menjadi syarat dibukanya pintu berkah,
adakah indiktor yang menandakan bahwa sebuah masyarakat yang diberkahi itu
diridlai dan baik menurut kaca mata syariat? Satu indikator di antara indikator
ini bukan satu-satunya pertanda kebaikan dan keberkahan sebuah bangsa.
1. Kekuasaan Dikendalikan Orang Fasik
Sebab pemimpin adalah produk dari masyarakat itu sendiri. Mereka lahir dari
masyarakat yang membesarkannya. Pemimpin sebuah bangsa adalah orang pilihan
mereka. Jika pemimpin itu dari sisi moralitas dan inteljensianya di bawah
rata-rata itu cerminan dari masyarakat yang memilih mereka jadi pemimpin.
Allah mengisyaratkan hal ini dalam Al-Quran:
“Dan Demikianlah kami jadikan sebahagian orang-orang yang zalim itu menjadi
teman bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.” (Al
An’am: 129)
Nabi juga menegaskan, “Sebagaimana kondisi kalian, (Allah) memberikan pemimpin
yang menguasai kalian.” (HR. Dailami)
Jika pemimpin sebuah bangsa orang yang shalih benar-benar yang akidah,
moralitas, visi dan misinya sesuai dengan syariat Islam maka itu pertanda itu
masyarakat yang baik menurut standar Islam. Sebab ia akan membawa kebaikan bagi
masyarakatnya. Ia akan menggunakan kekuasaannya untuk menegakkan syariat Allah,
menegakkan amar makmur dan nahi mungkar dan menciptakan keadilan dan
kesejahteraan bagi masyarakatnya.
Sebaliknya, jika orang yang jahat atau buruk menjadi penguasa maka itu pertanda
masyarakat akan mendapatkan imbas dan sasaran serta obyek dari kejahatan dan
nafsu serakahnya. Sebab kepentingan yang diburu adalah kepentingan pribadi dan
kelompoknya.
2. Kekayaan Didominasi Orang Yang Jahat dan Fasik
Yang dimaksud orang shalih adalah orang yang baik-baik secara moralitas dan
bukan orang yang jahat. Prediket orang salih tentu bukan monopoli kiai, ustad,
ajengan, ulama. Orang salih bisa jadi adalah orang biasa-biasa saja secara
agama.
Kekayaan adalah tulang punggung sebuah kehidupan, termasuk kehidupan sebuah
bangsa. Kekayaan sering digunakan sebagai standar kemakmuran sebuah bangsa.
Kuantitas dan kemelimpahan kekayaan sebuah bukan standar satu-satunya
keberkahan. Namun yang menjadi indikator adalah sumber kekayaan dan alokasinya.
Kekayaan dikuasi dan didominasi oleh orang-orang yang shalih menjadi pertanda
dan indikator baiknya sebuah masyarakat. Sebab mereka pasti akan menggunakan
untuk anggaran-anggaran belanja kebaikan bagi masyarakatnya. Serta menggunakan
dana itu untuk perbaikan masyarakatnya.
Sebaliknya, jika kekayaan dikuasai oleh orang-orang fasik, anggaran belanja
akan digunakan untuk hura-hura, kemaksiatan, kesenangan semata. Bahkan bisa
jadi kekayaannya digunakan untuk industri kemaksiatan yang menyebabkan
kerusakan di masyarakat.
Rasulullah bersabda, “Sebaik-baik harta adalah harta orang salih.”
3. Ketimpangan Sosial dan Tidak Meratanya Distribusi Kekayaan
Standar kebaikan sebuah bangsa bukan terletak pada kemelimpahan
materi
semata. Namun kebaikan sebuah masyarakat apabila distribusi kekayaan dan sumber
daya alamnya merata. Dengan kata lain terwujud keadilan social dan tidak ada
kesenjangan mengangah antar si kaya dan si miskin. Masyarakat yang baik bukan
berarti bersih dari orang miskin. Masyarakat yang baik adalah yang kebutuhan
pangannya tercukupi secara umum, baik oleh kemurahan si kaya atau negara yang
mengelolah sumber daya alamnya. Itu berarti si kaya menunaikan kewajiban
sosialnya berupa zakat infak dan sedekah.
Sebaliknya, tanda masyarakat yang buruk adalah tidak adanya keadilan sosial,
ketimpangan dan kesenjangan sosial yang tinggi. Kemiskinan dan kesenjangan
menandakan kerakusan dan ketamakan si kaya dan para pejabatnya dalam mengelola
SDA dan distribusinya. Akibatnya, kekayaan hanya berkeliling hanya di
segelintir orang saya.
Allah berfirman, “Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada
RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah
untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara
orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka
terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.”
4. Tingginya Tingkat Kriminalitas
Masyarakat yang baik bukan berarti tanpa ada kasus kriminalitas. Namun sebuah
masyarakat disebut rusak apabila angka kriminalitasnya tinggi. Entah itu kasus
pidana, pemerkosaan, pencurian, korupsi, dan kejahatan-kejahatan lainnya.
Rendahnya angka kriminalitas dan kejahatan mencerminkan masyarakat yang sadar
hukum dan moralitas yang tinggi serta supremasi hukum dan wibawa penegak hukum
di mata masyarakat. Di jaman Nabi tetap ada kasus perzinaan dan pencurian namun
itu hanya satu kasus yang muncul dipermukaan. Namun Nabi menegakkan hukum
secara adil tanpa pandang bulu.
Sebaliknya, tingginya angka kriminalitas di sebuah masyarakat mencerminkan
rendahnya moralitas masyarakat tersebut atau tidak adanya supremasi hukum
sehingga yang berlaku hanya hukum rimba atau karena konten hukum yang tidak
efektif dan memberikan dampak perubahan di masyarakat. Rendahnya reputasi
institusi hukum, tidak berwibawanya penegak hukum, penegakan hukum yang tidak
adil, orang kuat yang melanggar hukum diganjar sanksi ringan sementara si lemah
diganjar hukum berat, serta konten hukum yang tidak adil hanya akan menciptakan
lingkaran dendam di kalangan masyarakat.
Rasulullah bersabda, “Hancurlah umat-umat sebelum kalian, jika orang lemah
mencuri mereka menegakkan hukum kepadanya dan apabila orang terpandang mencuri,
mereka membiarkannya.” (HR. Muslim)
5. Tingginya Angka Perceraian
Perceraian dalam Islam memang dibolehkan namun ia menjadi solusi terakhir bagi
biduk rumah tangga yang sedang goyah. Karenanya jika perceraian menjadi
fenomena lazim di sebuah masyarakat mereka tetap akan dibenci oleh Allah.
Rasulullah bersabda, “Hal yang halal yang paling dibenci Allah adalah talak
(perceraian)”
Tingginya angka dan kasus perceraian di masyarakat menjadi indikator bahwa
keluarga-keluarga mereka mengalami masalah keharmonisan. Keluarga adalah unsur
terpenting bagi bangsa dan umat. Jika keluarganya sukses, pemerintahan akan
sukses.
6. Bangsa Yang Menggantungkan kepada Hutang
Hutang adalah indikator kelemahan ekonomi sebuah bangsa sekaligus politiknya.
Bangsa yang berhutang akan lebih banyak patuh dan tunduk kepada negara kuat
yang menghutanginya. Karena itu, Rasulullah memerintahkan umat agak berlindung
di antaranya dari lilitan hutang.
7. Merebaknya Musibah dan Bencana
Banyaknya musibah dan bencana alam memang tidak selalu menjadi indikator bangsa
itu runtuh secara moral. Namun jika indikator-indikator sudah ada di
masyarakat; kemusyrikan dan kemungkaran meraja lela sementara orang-orang salih
tidak berdaya dan hanya diam tidak menunaikan amar makruf nahi mungkar, maka
kemungkinan besar bencana dan musibah itu karena bentuk kemarahan Allah kepada
umat tersebut.
“Dan takutlah kepada fitnah yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zhalim
saja di antara kalian.” (Al-Anfal: 25)
Indikator dan fenomena di atas semata sebagai pengingat bagi kita untuk terus
melakukan perubahan di masyarakat dengan mengefektifkan peran masing-masing.